Weekly post

  • HANYA SEPARUH HARAPAN


    Kenalin aku Rara, aku anak rumahan. Aku ngak bermaksud sebagai anak yang ngak uptodate, tapi penyakit aku yang menyarankan semua ini. Aku punya penyakit yang dikenal sebagai penyakit leokimia. Penyakit ini sangat membuat aku seperti ratu. Tetapi aku senang karena semua jadi perhatian sama aku. Dan ngak semuanya enak, ada juga angak enaknya. Ngak enaknya aku jadi tidak bisa mandiri, pergi main sendiri seperti temen – temen aku yang lain.
    Dan setiap hari aku harus cuci darah, kalau ngak gitu aku harus kemo. Aku semakin bosan dengan semua hal – hal yang seringa ku hadapi ini. Hingga suatu saat ada sahabar lama aku yang menjenguk aku, aku sempet lupa dengan penampilannya. Karena dia berbeda saat kita masih berusia 8 tahun dulu, dan sedangkan kita sekarangkan sudah berusia 15 tahun. Sebut saja dia Rora.
    Rora yang menjadi teman main aku dirumah. Dia yang slalu menghibur aku, saat aku bosan berada dirumah. Aku juga sangat senang dengan Rora, karena dia juga memberitahu aku bagaimana anak muda sekarang ini dan bagaimana keseruan anak seumuranku dengan teman mainnya. Pokoknya dial ah yang slalu ada buat aku.
    Saat aku cuci darah aku meminta kepada papa aku untuk memanggil Rora, dan aku mengancam papa aku kalau tidaka ada Rora aku tidak mau cuci darah. Saat cuci darah berlangsung, tiba – tiba papa aku dipanggil oleh dokter, jadinya aku menunggu papa aku hingga keluar dari ruang dokter. Setelah papa aku keluar dari ruangan dokter, tiba – tiba papa aku membisiskan sesuatu kepada Rora. Setelah berbisisk – bisisk dengan ayah aku Rora pergi entah kemana!!
    Setelah itu hanya beberapa menit para medis dating menghampiri aku, membawakan kereta dorongnya. Aku sudah bisa menebak berarti itulah saatnya aku harus berbaring di rumah sakit. Dokter berkata padaku kalau aku harus semangat,, untuk kata dokter yang ini aku tidak begitu paham dengan maksudnya? Aku bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Papa dan mama aku hanya terdiam membisu, disaat yang bersamaan dokter berkata kepada papaku kalau aku harus tahu yang sebenarnya, aku heran apa yang tidak aku ketahui bukannya papa aku selalu jujur kepada aku.
    Saat itu Rora dating dan papa meminta Rora yang bicarakan semua. Kali ini Rora menangis seperti hari ini melihat diriku yang etrakhir. Dia berkata dalam pelukan aku, bahwa penyakit yang aku derita ini tidak adapat disembuhkan karena sudah stadium akhir. Tanpa aku rasa aku mengis saat aku tatap kedua orang tua aku dan saat aku menatap Rora. Akumengucapkkan kata maaf untuk papa aku yang slalu ada buat aku dan mama aku yag telah melahirkan aku dan merawat aku. Serta sahabat special aku yang slalu ada buat temen aku yaitu Rora.
    Saat aku di kemo aku hanya berdo’a semoga penyakit ini mengalami kebaikan tidak keburukan. Aku berjuang dalam tidur aku, dan aku berjuang dalam do’a aku. Saat merasa sakit aku tidak mengeluh sepeti biasanya ke dokter. Dan aku percaya bahwa diriku masih bisa hidup. Roar yang melihat aku hanya bisa memberikan semangatnya untuk aku, mama papa aku juga demikian. Aku slalu berdo’a hingga dokter mengatakan aku mengalami kemajuan, yaitu leokimia aku sudah agak membaik, tidak mengalami stadium akhir lagi. Hal itu membuat aku merasa bahagia atas perjuangan aku yang slalu tepat waktu dalam minum obat, dan ketelatenan aku mengikuti terapi.
    Papa aku memberikan aku hadiah jalan – jalan ke suatu tempat yang paling ingin aku kunnjungi, aku berkata bawa aku ke taman yang ada di komplek ini saja. Mereka menuruti aku, kami menggelar tikar dan makan – makan bersama, tertawa bersama dan take picture together. Tapi saat kami masih bahagia – bahagianya, tiba – tiba aku pusing dan hidungku mengeluarkan darahtanpa etrasa aku pingsan.
    Aku tersadar saat aku telah berbaring di rumah sakit. Aku dalam keadaan yang sangat lemah, aku sempat membuka mataku dan hanya melihat kedua orang tua aku menangis dan melihat Rora menangis. Saat yang bersamaan ada seorang yang memakai baju putih dia berwajah tampan, dia mengajak aku pergi, aku berpikir dia adalaha malaikat yang menjemputku. Tatpi tidak hany disitu aku bberjuang aku berjuang emlawan rohku sendiri yang ingin ikut dengan orang tampan itu. Tetapi aku sudah tidak kuat dan aku mohon kepada orang tampan itu aku ingin menyampaikan kata – kata terakhir yang berarti untuk orang tuanya.
    Aku berkata kepada mama dan papa aku agar mengabullkan satu permintaan Rora yang mulia itu. Dan aku juga meminta aku agar aku dikembalikan seperti aku dilahirkan, dan aku juga mengucapakan sampai jumpa kepada mereka semua. Aku melihat dengan rohku dan orang tampan itu bahwa mereka menangisi aku dan membanting – banting badan aku tapi aku hanya terbujur kaku.
  • TAKDIR ILLAHI


    Heru adalah pemuda yang taat beragama apalagi kepeda kedua orang tua. Ia sangat menghormati siapapun. Ameskipun ia masih sangat muda, namun Ilmu agama yang ia miliki tidak kalah dengan ustad. Maklum saja, dia adalah pemuda jebolan pesantren. Namun demikian dia sama sekali tidak memperlihatkan ilmu yang ia miliki sedikitpun, apalagi di panggil ustad, dia tidak mau. Dia tetap rendah hati dan tidak sombong sama sekali. Malah dia cenderung menyembunyikan Ilmu yang ia miliki. Kehidupannya pun sederhana. Sehari-hari dia mengais rizki dari bengkel kecil di rumahnya. Tidak seperti orang pada umumnya, dia tidak bingung dengan apa yang akan dimakan besok jika bengkel sedang sepi. Bagi saya cuma satu kalimat ungkapan untuk dia “pemuda idaman setiap wanita”. Bagaimana tidak, sudah pintar, sederhana, soleh lagi. Wah benar-benar perfect.
    Meski begitu ia memiliki teman dari berbagai kalangan. Ia juga tidak membeda-bedakan siapapun dalam berteman. Sampai suatu hari salah seorang temannya, sebut saja Udin, akan menikah. Udin meminta dia untuk ikut mempersiapkan segala sesuatunya. Dia dan Udin memang sudah  seperti saudara. Orang tuanya Udan juga sudah menganggap Heri seperti anaknya sendiri. Heri juga diperkenalkan dengan calon istrinya Udin. Dyah namanya. Gadis berjilbab yang cantik dan solihah.
    Dan merekapun mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan Udin. Mulai dari akad nikah, resepsi, persewaan perlengkapan, juga undangan tentunya. Tak seharipun mereka lalui tanpa bersama saat proses persiapan pernikahan ini. Persiapan sudah hampir rampung. Hanya tinggal menyebar undangan saja.
    Namun kali ini Udin sendirian tanpa ditemani Heri. Saat perjalanan menuju rumah saudaranya, sesuatu tak terduga terjadi pada Udin.
    “Bresss…”, kecelakaan menimpa Udin.
    “kring..kring..kring..,  nada dering handphone Heru pun berbunyi.
    “Assalamu’alaikum..”, belum sempat Heru bertanya dari siapa telepon ini, sambil serius mendengarkan orang yang menelepon, tiba-tiba terucap oleh mulut Heru, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Ternyata itu adalah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa sahabat karipnya itu kecelakaan. Tanpa pikir panjang Heru langsung tancap gas menuju rumah sakit.
    Di saat pernikahan sudah di depan mata, Udin justru meregang nyawa. Kondisinya kritis karena kehilangan banyak darah. Keluarga berkumpul. Semua usaha telah maksimal dilakukan oleh dokter. Hanya do’a yang tersisa.
    Pada saat-saat terakhir Udin ingin mengatakan sesuatu yang mungkin itu adalah permintaan terakhirnya. Dokter pun mempersilakan Heri untuk masuk. Namun hanya Heri dan Dyah yang diminta Udin untuk masuk. Tak lama kemudian Heri dan Dyah keluar. Sementara Dyah tak kuasa menahan tangis, untuk yang kedua kalinya terucap kata dari mulut Heri, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Tangis Dyah semakin pecah dan seluruh keluarga pun tak dapat menahan sesuatu yang memaksa keluar dari mata mereka. Suasana yang semula penuh kebahagiaan, kini berubah menjadi mendung.
    Tujuh hari penuh selepas pemakaman, keluarga beserta para tetangga menggelar tahlilan dan di,a bersama yang ditujukan tentu saja untuk Almarhum Udin. Dyah masih belum bisa mengikhlaskan kepergin calon suaminya itu. Entah apa yang harus Dyah dan keluarganya lakukan. Undangan telah tersebar. Dua minggu lagi akad dan resepsi seharusnya digelar. Namun mereka hanya bisa berdo’a kepada Illahi Robbi, agar diberikan ketegaran atas musibah ini.
    Rupanya Alloh menyimpan takdir lain untuk mereka semua…
    Setelah usai 7 hari tahlilan, Heru baru berani untuk mengatakan pesan terakhir yang disampaikan oleh Almarhum Udin. Heri pun mengumpulkan keluarganya, keluarga Almarhum Udin, dan keluarga Dyah. “Ada apakah gerangan kau mengumpulkan kami semua, nak?”, Tanya ayah almarhum.
    “Sebelumnya saya mohon maaf karena mengumpulkan kalian tidak pada waktu yang tepat. Ada yang harus saya sampaikan. Ini mengenai pesan terakhir yang disampaikan almarhum kepada saya.”, jelas Heru.
    “Baiklah, lanjutkan ceritamu!”,ayah Dyah menyambung.
    “Sesaat sebelum Alloh memangggilnya, ia berkata padaku ingin menyampikan sebuah amanah untukku. Bahwa aku harus menjaga calon istrinya dan menggantikan posisinya dengan kata laun aku yang harus menikahi Dyah. Dan Dyah pun tahu akan amanah ini.”, jelas Heru dengan lebar.
    “Benarkah itu Dyah?”, Tanya ibunya.
    “Benar, Bu….”, jawab Dyah sambil menahan air mata.
    “Subhanalloh…. Ini adalah amanah yang wajib kau laksanakan, nak. Insya Alloh kami semua ikhlas karena ini adalah permintaan almarhum yang sudah kau anggap saudaramu sendiri. Bukan begitu Pak, Bu?”, jelas Ayah almarhum.
    “Iya, kami semua ikhlas dengan amanah ini. Kami yakin ini semua adalah rencana Alloh untuk kalian juga semua yang ada di sini.”, jawaban Ibu Dyah ini didukung oleh anggukan setuju dari semua keluarga. “Alhamdulillah, Alloh telah menunjukkan Kuasa-Nya. Kita sebagai manusia hanya bisa merencanakan, tapi Alloh jualah yang menetukan. Laksanakanlah amanah ini, nak!”, Perintah ayah Heru.
    “Subhanalloh, Insya Alloh saya akan melaksanakan amanah ini. Bagaimana denganmu Dyah, maukah kaumenerimaku sebagai pengganti almarhum?”, Tanya Heru.
    Tanpa berkata, Dyah hanya mengangguk seraya tersenyum haru.
    “Alhamdulillah…..”, seluruh keluaraga memuji Asma Alloh dengan nafas yang lega.
    Hari yang ditunggu telah tiba. Heru mengucap ijab qobul dengan lancer. Seluruh keluarga tersenyum haru. Namun banyak raut muka yang menyimpan tanda tanya akan kejadian. Tapi tidak jadi masalah, karena ini sudah menjadi takdir Allah.
  • SELEMBAR KALIGRAFI DIKAMAR MANDI


    Aku terperanjat, langsung menghentikan langkah. Begitu mau masuk kamar mandi, ketika sudah berada persis di depan pintu, tiba-tiba ada bayangan berkelebatan datang menepuk bahuku
    “Tunggu!”
    Kulihat tidak ada siapa-siapa. Tidak kujumpai setapakpun jejak manusia kecuali hanya segelintir angin menempel di tembok, celana dalam menggantung di kapstok, tempat sampah, puntung rokok, sisa-sisa amonia yang meranggas di sela-sela pintu kamar yang sedikit terbuka. Dengan dada gemetar, aku memberanikan diri mencari bayangan itu sampai ke setiap persinggungan ceruk ruang, semak belukar pusaran taman, pos satpam, daerah perbukitan, sampai kawasan perbatasan desa di mana orang selalu menabuh genderang malam seiring puji-pujian keharibaan Tuhan—tidak ada sahutan—tidak ada siapa-siapa—begitu juga dengan bayangan itu.“Hei! Siapa yang berani menepuk bahuku malam-malam begini. Apakah kalian semacam setan, genderuwo, peri, atau mungkin rangkaian kedalaman bait-bait intuisi?!”
    Di depan kamar mandi, aku menggerutu, mengetuk pintu sebanyak dua kali, “Hei! Siapa yang berani mempermainkanku malam-malam begini?!”
    “Brakkk!” Dengan emosi kutendang pintu itu. Kamar mandi menganga. Pintu terbuka. Samar-samar, dari rambatan cahaya purnama yang menyelinap masuk dari celah jendela kamar, aku melihat bayangan hitam teronggok di pojok ruangan. Wajahnya kusam. Bola matanya hitam. Sekujur tubuhnya serba hitam. Kemudian bayangan itu perlahan-lahan berjalan mendekatiku dengan wajah yang menyeramkan. Semakin menyeramkan. Dan….
    Subhanallah. Ternyata Ibu yang keluar dari kamar mandi. Wajahnya sungguh teduh. Kulitnya bersih. Gaunnya sunyi. Kemudian kuikuti langkah Ibu sampai memasuki kamarnya. Aku memberanikan diri
    duduk di sebelahnya. Kurebahkan kepalaku di pangkuannya. Kugenggam jari tangannya.
    “Kenapa buyung, rona matamu kelihatan menerawang gamang, seluruh aliran darahmu nampak tegang.”
    “Ah, tidak ada apa-apa kok. Apakah yang berada di kamar mandi menepuk bahuku tadi Ibu?”
    “Bukan, Ibu hanya pipis sebentar, habis itu berwudlu.”
    “Tapi, Bu?!”
    “Sudahlah, Buyung. Di dunia maha luas tanpa batas yang jelas ini semuanya bisa terjadi. Apalagi cuma di sekitar ruangan kecil seperti kamar mandi. Banyak hal-hal sepele yang sering kurang kita pahami. Kamu salah sedikit saja melangkah, bisa jadi malah polah kepradah berlawanan arah. Kamar mandi itu bentuknya bukan hanya persegi. Tapi mempunyai seribu sisi.”
    Ibu diam. Sesekali mengusap air wudlu dari balik wajahnya yang teduh. Serat kulitnya yang bersih. Dari pantulan gaunnya yang sunyi. Kemudian Ibu beranjak melangkahkan kaki untuk solat tahajud.
    Dalam benak panjangku, malam itu, aku masih ragu ketika dihadapkan pada perselingkuhan batas waktu. Waktu yang terus memburu. Waktu yang selalu bersekutu. Antara Ibu, bayangan yang menepuk bahuku, bayangan hitam, aku, siapakah yang lebih dulu memasuki jasad alegori waktu?
    Ah, kulihat dari celah jendela kamar, kemerlip cahaya bintang sudah nampak redup dan hampir padam. Purnama mulai beriring-iringan beranjak pergi untuk pamitan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak kuasa menterjemahkan apa yang terjadi. Kecuali, sebelum sinar matahari terlanjur enggan menyapa selamat pagi, di atas selembar kertas kwarto, aku hanya bisa menulis selembar kaligrafi, “Berdoa Dulu Sebelum Masuk Kamar Mandi.”
    Sejak kejadian itu, antara percaya dan tidak, sungguh! Sekarang aku menjadi was-was jika mau masuk ke kamar mandi. Bayangan hitam itu seolah-olah sudah stand- by di sekitar kamar mandi dengan cengkraman tangannya yang kuat. Dengan wajahnya yang mengerikan.
    Kadang, aku juga sering terperanjat, dan langsung menghentikan langkah. Begitu mau masuk kamar mandi, ketika sudah berada persis di depan pintu, tiba-tiba selalu ada saja bayangan berkelabatan menepuk bahuku
    “Tunggu!”
    Apakah semacam setan, genderuwo, peri, atau mungkin rangkaian kedalaman bait-bait intuisi?
    Tidak? Tidak! Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada setapakpun kujumpai jejak manusia kecuali hanya aku termangu di depan pintu sembari memilang-miling selembar kaligrafi itu. “Tulisanmu bagus juga buyung,” kata keluargaku, saudaraku, dan kata siapa saja yang melihat selembar tulisan kaligrafi itu.
    Aku melempar senyum. Sementara itu dari hari ke hari tamu yang berkunjung ke rumahku datang dan pergi silih berganti. Setiap ada tamu, dan mereka hendak numpang ke belakang untuk istinjak, membasuh muka, mengganti pepes anaknya atau mau apa saja, aku selalu mengikuti mereka dari belakang. Aku selalu mengendap-endap dari tembok samping kamar mandi mengamati gerak-gerik mereka dengan teliti. Ada di antara mereka ketika mau masuk kamar mandi membaca selembar kaligrafi itu dulu, kemudian mulutnya mendesah komat-kamit, seperti berdoa. Ada juga yang masuk dengan santai tanpa melihat selembar kaligrafi itu. Banyak juga di antara mereka yang melihat selembar kaligrafi itu malah tertawa, nyengir, kemudian sesekali tangannya yang basah ditempelkan pas di tengah selembar kaligrafi itu hingga membentuk seperti bubuhan cap lima jari.
    Semula tidak terjadi apa-apa. Aman. Tapi selang lima hari, dua minggu, sebulan, ahirnya, perasaan paling mendebarkan muncul juga tatkala para tamu dari lingkungan desa sudah memenuhi rumahku untuk acara pertemuan arisan. Mbah Abas, selaku sesepuh desa kami memulai acara dengan pembacaan doa. Ruangan tamu cukup sesak. Berbaur dengan semilir angin dari rerimbunan pohon di depan rumah. Membuat suasana agak sedikit gaduh.
    “Tapi, kamar mandi itu, lagi-lagi pikirku cemas. “Wah, jangan-jangan…”
    Untuk ke sekian kalinya aku tergeragap. Belum sempat sejengkal kakipun aku melangkah. Belum sempat para tamu mendongakkan kepala, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang menjerit kesakitan, “Wataauuuuuuuu...!!!”
    “Itu suara ragil, anakkuuu…!!!” teriak Ibunya cemas.
    Spontan semua yang berada di dalam rumah langsung berhamburan ke belakang. Acara buyar. Orang orang panik. Takut kalu terjadi apa-apa pada diri ragil.
    “Dobrak saja pintunya,” teriak Om Brahman.
    “Jangan, kita harus lapor ke polisi,” ujar Bulek Parmi.
    “Ya, tetangga desa sebelah ada pak polisi cakep membawa pistol. Kita lapor saja, nanti biar di dorrrr
    orang yang mengganggu Mas Ragil,” sambung Budhe Lasmi.
    “Ini bukan masalah kriminal lho, Mbak Yu,” tegas Bapak, “Sebaiknya kita dobrak saja pintunya. Bagaimanapun juga, kalau terjadi apa-apa nanti kita yang disalahkan.”
    “Ya, dobrak saja pintunya!”
    Alhasil, kami semua sepakat mendobrak pintu. Hanya dengan empat gebrakan, dengan bantuan beberapa orang yang berbadan cukup besar, pintu kamar mandi langsung roboh. Kulihat darah segar berceceran di kamar mandi. Ragil terkapar. Lemas. Tak sadarkan diri. Mulutnya menganga. Kancing celananya sedikit terbuka.
    “Masya Allah,” teriak kami, ketika dengan kasat mata melihat Upik juga tergeletak lemas tak sadarakan diri, dengan posisi tengkurap di samping Ragil.
    Om Brahman, Bapak, dibantu dengan beberapa orang segera membopong mereka ke ruang tamu. Mereka berdua mengalami pendarahan yang luar biasa, terutama Upik. Menurut desas-sesus yang tersiar dari warga setempat, Upik telah mengandung dua bulan. Keluarganya membiarkan begitu saja anaknya bebas berkeliaran dan kumpul kebo dengan siapa saja.
    “Bagaimana denyut nadinya?” tanya Mbah Abas seraya meredamkan suasana.
    Om Brahman, yang tergolong masih family dengan Upik memegang lengan mereka bergantian. Dan untuk terahir kalinya, wajahnya terlihat muram. Ia menghela nafas panjang. Menundukkan kepala. “Upik sudah tiada,” jawabnya dengan suara datar.
    Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
    Aku tidak habis pikir, di dunia maha luas tanpa batas yang jelas ini semuanya bisa terjadi. Apalagi cuma di sekitar ruangan kecil seperti kamar mandi. Banyak hal-hal sepele yang sering kurang kita pahami. Memang benar nasehat Ibu, kamar mandi itu bentuknya bukan hanya persegi, tapi mempunyai seribu sisi.
    Sejak musibah menimpa Ragil dan Upik, sampai sekarang, atau bahkan selamanya, aku masih ragu ketika dihadapkan pada perselingkuhan batas waktu. Waktu yang terus memburu. Waktu yang selalu bersekutu. Antara Ibu, bayangan yang menepuk bahuku, bayangan hitam, aku, siapakah yang lebih dulu memasuki jasad alegori waktu?
    Yang jelas, sampai saat ini, ketika mau masuk kamar mandi, ketika sudah berada persis di depan pintu, tiba-tiba selalu ada saja bayangan berkelebatan datang menepuk bahuku
    “Tunggu!”
  • NASI BUNGKUS PRESIDEN


    Sore itu ku berjalan susuri barisan gerbong kereta tua yang sudah pensiun. Ketika aku berada di samping salah satu gerbong kereta tua dengan jendela yang sudah retak, tiba-tiba terdengar sebuah suara menyayat hati.
    “Bu... lapar....”
    Kupertajam indera dengarku.
    “Bu, pengen makan....”
    “Iya nak, ibu tahu kau lapar. Tapi, ibu tak punya apa-apa. Tunggu bapak ya....”
    “Bu... aku lapar.”
    “Iya nak, ibu tahu. Tunggu bapakmu.”
    Aku tak berdaya mendengarnya. Kuingin membantu, tapi... nasibku serupa. Sudah sejak pagi tadi perutku hampa. Hanya air mineral yang bisa kuteguk. Itupun hanya setengah botol yang tersisa. Beruntung kutemukan botol air itu di kursi gerbong paling ujung. Tak biasanya aku kehabisan barang penumpang yang tertinggal.
    “Bu, lapar....”
    “Iyaaaa... nak... tunggu bapakmu.”
    Tiba-tiba kulihat di kejauhan tampak seorang tua berjalan agak gontai. Dia menghampiri sumber suara yang kudengar tadi.
    “Nak, Tuhan mendengarmu. Bapakmu sudah datang. Semoga ia membawa makanan.”
    “Bu, bapak pulang.”
    “Bapak... Ara lapar, mau makan.”
    “Iya, nak, bapak juga dengar suaramu. Beruntung kita hari ini karena presiden kita mau menaikkan harga BBM. Semoga terus setiap hari berita itu muncul.”
    “Pak, Ara lapar. Ara gak ngerti BBM. Ara mau makan.”
    “Iya, nak. Bapak tahu. Bapak bawa makanan. Tapi, kamu harus bilang makasih.”
    “Iya pak, makasih.”
    “Bukan ke bapak nak, tapi ke presiden kita.”
    “Emang makanan ini dari presiden ya pak?”
    “Iya nak, karena presiden mau menaikkan BBM, hari ini bapak dapat makanan.”
    “Pak presiden yang ngasih nasi bungkus ini pak? Bapak tadi ketemu presiden ya? Bapak hebat. Ara mau ketemu presiden pak. Ara mau bilang makasih ke presiden. Bapak antarkan Ara Ya....”
    “Sudah, kamu makan dulu sana.... Habiskan ya nak.”
    Sesaat ku terdiam. Kurenungkan dialog bpk dan anak itu. Presiden mmberi nasi bungkus? Kpd bapak tua yang tinggal di gerbong? Telingaku terganggukah? Bermimpikah aku? Atau memang benar sang presiden sebaik itu??
    Alangkah baiknya sang presiden. Sungguh seorang pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Aku terharu.
    Namun tiba-tiba secuil otakku berontak. Tidak, presiden tidak sebaik itu. Kudengar tadi ada isu BBM akan dinaikkan. BBM naik. Bukankah hal itu berat untuk rakyat?? Termasuk aku dan bapak itu sekeluarga akan terkena dampaknya.
    BBM naik. Presiden memberi nasi bungkus. Apa hubungannya???
    Otakku yang kerdil ini tak sanggup temukan jawabannya. Aku linglung. Di tengah kelinglunganku aku limbung. Aku tertidur dgn perut yang hanya terisi air mineral setengah botol, yang tadi tertinggal.
    Keesokan paginya ku terbangun. Seperti biasanya kususuri gerbong demi gerbong brharap ada makanan/barang penumpang tertinggal. Hari ini aku lebih beruntung. Kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek ukuran sedang dn seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku. Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih sayang padaku.
    Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut, ku berjalan susuri barisan gerbong-gerbong tua yang sudah pensiun. Aku di salah satu gerbong, sedang bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.
    Masih penasaran dengan kisah mereka kemarin. Aku pun lalu kembali mendekati mereka. Kucoba menguping untuk mendapatkan jawaban. Benarkah sang presiden memberikan nasi bungkus kepada bapak tua itu? Lalu apa hubungannya dengan BBM akan naik??
    Dengan sabar kutunggu si bapak tua itu pulang. Lalu seperti hari-hari sebelumnya. Kudengar dialog dengan urutan yg sdh kuhapal.
    “Bu, lapar... mau makan.”
    “Iya nak, tunggu bapak pulang.”
    Seperti sebelumnya pula, beberapa lama kemudian sang bapak tua pulang. Tentu saja membawa makanan untuk anaknya.
    “Pak, lapar....”
    “Iya nak, nih bapak bawa nasi bungkus lagi buat kamu. Ini dari presiden juga, nak.”
    “Bapak ketemu pak presiden lagi?”
    Sang bapak tua tak menjawab. Ia malah menjawab seperti tadi.
    “Nasi ini dari presiden kita, nak.”
    Lalu meminta anaknya makan.
    “Sudah, makan dulu sana. Habiskan nasi dari pak presiden.”
    Beberapa saat kemudian, sang ibu menarik bapak tua itu menjauh dari anaknya. Kemudian ia berbisik. Sayup kudengar dialog mereka, sementara si anak asik dengan makanannya.
    “Bapak benar bertemu pak presiden? Benar bapak diberi nasi bungkus oleh presiden? Benar bapak.... Benar bapak....”
    Rentetan pertanyaan berbisik itu meluncur deras dari mulut sang ibu. Seolah menumpahkan segudang rasa penasaran.
    Hahahaha, ternyata rasa penasaranku tak kalah dengan sang ibu. Dalam hati kumerasa sebentar lagi penasaran itu 'kan terjawab.
    Dengan tenang sang bapak memegang kedua pundak sang ibu.
    “Bu, kita ini siapa? Presiden kita siapa? Kita tinggal di gerbong tua, beliau di istana. Dia tak mengenal kita bu, dia tak kenal bapak. Lagipula ibu percaya bahwa presiden memberi nasi bungkus kepada rakyat hina seperti kita??”
    “Tapi pak.... Beberapa hari ini bapak bilang dapat nasi bungkus dari presiden.”
    “Bu..., bapak sendiri takkan percaya seandainya hal itu benar.”
    “Lalu pak.... Dari mana nasi bungkus itu?”
    Rasa penasaranku semakin menjadi. Otakku mendidih, badanku bergetar menanti jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu.
    “Bu, bapak beberapa hari ini mendekati lokasi demonstrasi. Mereka katanya menolak kenaikan BBM. Bapak tidak tahu masalah BBM. Bapak juga tak peduli. Siang-malam kita tidak berhubungan dengan BBM. Yang bapak tahu, menurut teman-teman pemulung lainnya, di sana ada demonstrasi. Mereka menolak BBM naik.
    Kata mereka, setiap siang sekitar jam 12-an pendemo itu istirahat. Mereka makan siang. Mereka bilang setiap siang itu ada beberapa orang yang datang membawa makanan, nasi bungkus. Nasi bungkus itu dibagikan kepada para pendemo. Tukang becak, pengemis, dan pemulung yang ada di sana dikasih juga, bu.
    Beberapa hari ini bapak mendekati demonstrasi dan ketika pembagian nasi, bapak juga dapat bagian. Bapak tidak tahu siapa yang mengirim nasi bungkus itu. Bapak cuma tahu pak presiden ingin menaikkan harga BBM. Bagi bapak, nasi bungkus ini karena niat presiden, nasi ini dari presiden.
    Seketika aku tergagap. Aku terdiam berjuta bahasa. Presiden memang baik hati. Presiden memang memberi nasi bungkus kepada bapak tua itu.
  • Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    Kumpulan Cerpen Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan