HANYA SEPARUH HARAPAN
Kenalin aku Rara,
aku anak rumahan. Aku ngak bermaksud sebagai anak yang ngak uptodate, tapi
penyakit aku yang menyarankan semua ini. Aku punya penyakit yang dikenal
sebagai penyakit leokimia. Penyakit ini sangat membuat aku seperti ratu. Tetapi
aku senang karena semua jadi perhatian sama aku. Dan ngak semuanya enak, ada
juga angak enaknya. Ngak enaknya aku jadi tidak bisa mandiri, pergi main
sendiri seperti temen – temen aku yang lain.
Dan setiap hari
aku harus cuci darah, kalau ngak gitu aku harus kemo. Aku semakin bosan dengan
semua hal – hal yang seringa ku hadapi ini. Hingga suatu saat ada sahabar lama
aku yang menjenguk aku, aku sempet lupa dengan penampilannya. Karena dia
berbeda saat kita masih berusia 8 tahun dulu, dan sedangkan kita sekarangkan
sudah berusia 15 tahun. Sebut saja dia Rora.
Rora yang menjadi
teman main aku dirumah. Dia yang slalu menghibur aku, saat aku bosan berada
dirumah. Aku juga sangat senang dengan Rora, karena dia juga memberitahu aku
bagaimana anak muda sekarang ini dan bagaimana keseruan anak seumuranku dengan
teman mainnya. Pokoknya dial ah yang slalu ada buat aku.
Saat aku cuci
darah aku meminta kepada papa aku untuk memanggil Rora, dan aku mengancam papa
aku kalau tidaka ada Rora aku tidak mau cuci darah. Saat cuci darah
berlangsung, tiba – tiba papa aku dipanggil oleh dokter, jadinya aku menunggu
papa aku hingga keluar dari ruang dokter. Setelah papa aku keluar dari ruangan
dokter, tiba – tiba papa aku membisiskan sesuatu kepada Rora. Setelah berbisisk
– bisisk dengan ayah aku Rora pergi entah kemana!!
Setelah itu hanya
beberapa menit para medis dating menghampiri aku, membawakan kereta dorongnya.
Aku sudah bisa menebak berarti itulah saatnya aku harus berbaring di rumah
sakit. Dokter berkata padaku kalau aku harus semangat,, untuk kata dokter yang
ini aku tidak begitu paham dengan maksudnya? Aku bertanya apa yang sebenarnya
terjadi. Papa dan mama aku hanya terdiam membisu, disaat yang bersamaan dokter
berkata kepada papaku kalau aku harus tahu yang sebenarnya, aku heran apa yang
tidak aku ketahui bukannya papa aku selalu jujur kepada aku.
Saat itu Rora
dating dan papa meminta Rora yang bicarakan semua. Kali ini Rora menangis
seperti hari ini melihat diriku yang etrakhir. Dia berkata dalam pelukan aku,
bahwa penyakit yang aku derita ini tidak adapat disembuhkan karena sudah
stadium akhir. Tanpa aku rasa aku mengis saat aku tatap kedua orang tua aku dan
saat aku menatap Rora. Akumengucapkkan kata maaf untuk papa aku yang slalu ada
buat aku dan mama aku yag telah melahirkan aku dan merawat aku. Serta sahabat
special aku yang slalu ada buat temen aku yaitu Rora.
Saat aku di kemo
aku hanya berdo’a semoga penyakit ini mengalami kebaikan tidak keburukan. Aku
berjuang dalam tidur aku, dan aku berjuang dalam do’a aku. Saat merasa sakit
aku tidak mengeluh sepeti biasanya ke dokter. Dan aku percaya bahwa diriku
masih bisa hidup. Roar yang melihat aku hanya bisa memberikan semangatnya untuk
aku, mama papa aku juga demikian. Aku slalu berdo’a hingga dokter mengatakan
aku mengalami kemajuan, yaitu leokimia aku sudah agak membaik, tidak mengalami
stadium akhir lagi. Hal itu membuat aku merasa bahagia atas perjuangan aku yang
slalu tepat waktu dalam minum obat, dan ketelatenan aku mengikuti terapi.
Papa aku
memberikan aku hadiah jalan – jalan ke suatu tempat yang paling ingin aku
kunnjungi, aku berkata bawa aku ke taman yang ada di komplek ini saja. Mereka
menuruti aku, kami menggelar tikar dan makan – makan bersama, tertawa bersama
dan take picture together. Tapi saat kami masih bahagia – bahagianya, tiba –
tiba aku pusing dan hidungku mengeluarkan darahtanpa etrasa aku pingsan.
Aku tersadar saat
aku telah berbaring di rumah sakit. Aku dalam keadaan yang sangat lemah, aku
sempat membuka mataku dan hanya melihat kedua orang tua aku menangis dan
melihat Rora menangis. Saat yang bersamaan ada seorang yang memakai baju putih
dia berwajah tampan, dia mengajak aku pergi, aku berpikir dia adalaha malaikat
yang menjemputku. Tatpi tidak hany disitu aku bberjuang aku berjuang emlawan
rohku sendiri yang ingin ikut dengan orang tampan itu. Tetapi aku sudah tidak
kuat dan aku mohon kepada orang tampan itu aku ingin menyampaikan kata – kata
terakhir yang berarti untuk orang tuanya.
Aku berkata kepada
mama dan papa aku agar mengabullkan satu permintaan Rora yang mulia itu. Dan
aku juga meminta aku agar aku dikembalikan seperti aku dilahirkan, dan aku juga
mengucapakan sampai jumpa kepada mereka semua. Aku melihat dengan rohku dan
orang tampan itu bahwa mereka menangisi aku dan membanting – banting badan aku
tapi aku hanya terbujur kaku.
TAKDIR ILLAHI
Heru adalah pemuda
yang taat beragama apalagi kepeda kedua orang tua. Ia sangat menghormati
siapapun. Ameskipun ia masih sangat muda, namun Ilmu agama yang ia miliki tidak
kalah dengan ustad. Maklum saja, dia adalah pemuda jebolan pesantren. Namun
demikian dia sama sekali tidak memperlihatkan ilmu yang ia miliki sedikitpun,
apalagi di panggil ustad, dia tidak mau. Dia tetap rendah hati dan tidak
sombong sama sekali. Malah dia cenderung menyembunyikan Ilmu yang ia miliki.
Kehidupannya pun sederhana. Sehari-hari dia mengais rizki dari bengkel kecil di
rumahnya. Tidak seperti orang pada umumnya, dia tidak bingung dengan apa yang
akan dimakan besok jika bengkel sedang sepi. Bagi saya cuma satu kalimat
ungkapan untuk dia “pemuda idaman setiap wanita”. Bagaimana tidak, sudah
pintar, sederhana, soleh lagi. Wah benar-benar perfect.
Meski begitu ia memiliki teman dari berbagai kalangan. Ia juga tidak membeda-bedakan siapapun dalam berteman. Sampai suatu hari salah seorang temannya, sebut saja Udin, akan menikah. Udin meminta dia untuk ikut mempersiapkan segala sesuatunya. Dia dan Udin memang sudah seperti saudara. Orang tuanya Udan juga sudah menganggap Heri seperti anaknya sendiri. Heri juga diperkenalkan dengan calon istrinya Udin. Dyah namanya. Gadis berjilbab yang cantik dan solihah.
Meski begitu ia memiliki teman dari berbagai kalangan. Ia juga tidak membeda-bedakan siapapun dalam berteman. Sampai suatu hari salah seorang temannya, sebut saja Udin, akan menikah. Udin meminta dia untuk ikut mempersiapkan segala sesuatunya. Dia dan Udin memang sudah seperti saudara. Orang tuanya Udan juga sudah menganggap Heri seperti anaknya sendiri. Heri juga diperkenalkan dengan calon istrinya Udin. Dyah namanya. Gadis berjilbab yang cantik dan solihah.
Dan merekapun
mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan Udin. Mulai dari akad
nikah, resepsi, persewaan perlengkapan, juga undangan tentunya. Tak seharipun
mereka lalui tanpa bersama saat proses persiapan pernikahan ini. Persiapan
sudah hampir rampung. Hanya tinggal menyebar undangan saja.
Namun kali ini
Udin sendirian tanpa ditemani Heri. Saat perjalanan menuju rumah saudaranya,
sesuatu tak terduga terjadi pada Udin.
“Bresss…”,
kecelakaan menimpa Udin.
“kring..kring..kring..,
nada dering handphone Heru pun berbunyi.
“Assalamu’alaikum..”,
belum sempat Heru bertanya dari siapa telepon ini, sambil serius mendengarkan
orang yang menelepon, tiba-tiba terucap oleh mulut Heru, “Innalillahi wa inna
ilaihi roji’un”. Ternyata itu adalah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan
bahwa sahabat karipnya itu kecelakaan. Tanpa pikir panjang Heru langsung tancap
gas menuju rumah sakit.
Di saat pernikahan
sudah di depan mata, Udin justru meregang nyawa. Kondisinya kritis karena
kehilangan banyak darah. Keluarga berkumpul. Semua usaha telah maksimal
dilakukan oleh dokter. Hanya do’a yang tersisa.
Pada saat-saat
terakhir Udin ingin mengatakan sesuatu yang mungkin itu adalah permintaan
terakhirnya. Dokter pun mempersilakan Heri untuk masuk. Namun hanya Heri dan
Dyah yang diminta Udin untuk masuk. Tak lama kemudian Heri dan Dyah keluar.
Sementara Dyah tak kuasa menahan tangis, untuk yang kedua kalinya terucap kata
dari mulut Heri, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Tangis Dyah semakin
pecah dan seluruh keluarga pun tak dapat menahan sesuatu yang memaksa keluar
dari mata mereka. Suasana yang semula penuh kebahagiaan, kini berubah menjadi
mendung.
Tujuh hari penuh selepas pemakaman, keluarga beserta para tetangga menggelar tahlilan dan di,a bersama yang ditujukan tentu saja untuk Almarhum Udin. Dyah masih belum bisa mengikhlaskan kepergin calon suaminya itu. Entah apa yang harus Dyah dan keluarganya lakukan. Undangan telah tersebar. Dua minggu lagi akad dan resepsi seharusnya digelar. Namun mereka hanya bisa berdo’a kepada Illahi Robbi, agar diberikan ketegaran atas musibah ini.
Tujuh hari penuh selepas pemakaman, keluarga beserta para tetangga menggelar tahlilan dan di,a bersama yang ditujukan tentu saja untuk Almarhum Udin. Dyah masih belum bisa mengikhlaskan kepergin calon suaminya itu. Entah apa yang harus Dyah dan keluarganya lakukan. Undangan telah tersebar. Dua minggu lagi akad dan resepsi seharusnya digelar. Namun mereka hanya bisa berdo’a kepada Illahi Robbi, agar diberikan ketegaran atas musibah ini.
Rupanya Alloh
menyimpan takdir lain untuk mereka semua…
Setelah usai 7
hari tahlilan, Heru baru berani untuk mengatakan pesan terakhir yang
disampaikan oleh Almarhum Udin. Heri pun mengumpulkan keluarganya, keluarga
Almarhum Udin, dan keluarga Dyah. “Ada apakah gerangan kau mengumpulkan kami
semua, nak?”, Tanya ayah almarhum.
“Sebelumnya saya mohon maaf karena mengumpulkan kalian tidak pada waktu yang tepat. Ada yang harus saya sampaikan. Ini mengenai pesan terakhir yang disampaikan almarhum kepada saya.”, jelas Heru.
“Sebelumnya saya mohon maaf karena mengumpulkan kalian tidak pada waktu yang tepat. Ada yang harus saya sampaikan. Ini mengenai pesan terakhir yang disampaikan almarhum kepada saya.”, jelas Heru.
“Baiklah,
lanjutkan ceritamu!”,ayah Dyah menyambung.
“Sesaat sebelum
Alloh memangggilnya, ia berkata padaku ingin menyampikan sebuah amanah untukku.
Bahwa aku harus menjaga calon istrinya dan menggantikan posisinya dengan kata
laun aku yang harus menikahi Dyah. Dan Dyah pun tahu akan amanah ini.”, jelas
Heru dengan lebar.
“Benarkah itu Dyah?”, Tanya ibunya.
“Benarkah itu Dyah?”, Tanya ibunya.
“Benar, Bu….”,
jawab Dyah sambil menahan air mata.
“Subhanalloh…. Ini
adalah amanah yang wajib kau laksanakan, nak. Insya Alloh kami semua ikhlas
karena ini adalah permintaan almarhum yang sudah kau anggap saudaramu sendiri.
Bukan begitu Pak, Bu?”, jelas Ayah almarhum.
“Iya, kami semua
ikhlas dengan amanah ini. Kami yakin ini semua adalah rencana Alloh untuk
kalian juga semua yang ada di sini.”, jawaban Ibu Dyah ini didukung oleh
anggukan setuju dari semua keluarga. “Alhamdulillah, Alloh telah menunjukkan
Kuasa-Nya. Kita sebagai manusia hanya bisa merencanakan, tapi Alloh jualah yang
menetukan. Laksanakanlah amanah ini, nak!”, Perintah ayah Heru.
“Subhanalloh, Insya Alloh saya akan melaksanakan amanah ini. Bagaimana denganmu Dyah, maukah kaumenerimaku sebagai pengganti almarhum?”, Tanya Heru.
“Subhanalloh, Insya Alloh saya akan melaksanakan amanah ini. Bagaimana denganmu Dyah, maukah kaumenerimaku sebagai pengganti almarhum?”, Tanya Heru.
Tanpa berkata,
Dyah hanya mengangguk seraya tersenyum haru.
“Alhamdulillah…..”,
seluruh keluaraga memuji Asma Alloh dengan nafas yang lega.
Hari yang ditunggu telah tiba. Heru mengucap ijab qobul dengan lancer. Seluruh keluarga tersenyum haru. Namun banyak raut muka yang menyimpan tanda tanya akan kejadian. Tapi tidak jadi masalah, karena ini sudah menjadi takdir Allah.
Hari yang ditunggu telah tiba. Heru mengucap ijab qobul dengan lancer. Seluruh keluarga tersenyum haru. Namun banyak raut muka yang menyimpan tanda tanya akan kejadian. Tapi tidak jadi masalah, karena ini sudah menjadi takdir Allah.
SELEMBAR KALIGRAFI DIKAMAR MANDI
Aku terperanjat,
langsung menghentikan langkah. Begitu mau masuk kamar mandi, ketika sudah
berada persis di depan pintu, tiba-tiba ada bayangan berkelebatan datang
menepuk bahuku
“Tunggu!”
Kulihat tidak ada siapa-siapa. Tidak kujumpai setapakpun jejak manusia kecuali hanya segelintir angin menempel di tembok, celana dalam menggantung di kapstok, tempat sampah, puntung rokok, sisa-sisa amonia yang meranggas di sela-sela pintu kamar yang sedikit terbuka. Dengan dada gemetar, aku memberanikan diri mencari bayangan itu sampai ke setiap persinggungan ceruk ruang, semak belukar pusaran taman, pos satpam, daerah perbukitan, sampai kawasan perbatasan desa di mana orang selalu menabuh genderang malam seiring puji-pujian keharibaan Tuhan—tidak ada sahutan—tidak ada siapa-siapa—begitu juga dengan bayangan itu.“Hei! Siapa yang berani menepuk bahuku malam-malam begini. Apakah kalian semacam setan, genderuwo, peri, atau mungkin rangkaian kedalaman bait-bait intuisi?!”
“Tunggu!”
Kulihat tidak ada siapa-siapa. Tidak kujumpai setapakpun jejak manusia kecuali hanya segelintir angin menempel di tembok, celana dalam menggantung di kapstok, tempat sampah, puntung rokok, sisa-sisa amonia yang meranggas di sela-sela pintu kamar yang sedikit terbuka. Dengan dada gemetar, aku memberanikan diri mencari bayangan itu sampai ke setiap persinggungan ceruk ruang, semak belukar pusaran taman, pos satpam, daerah perbukitan, sampai kawasan perbatasan desa di mana orang selalu menabuh genderang malam seiring puji-pujian keharibaan Tuhan—tidak ada sahutan—tidak ada siapa-siapa—begitu juga dengan bayangan itu.“Hei! Siapa yang berani menepuk bahuku malam-malam begini. Apakah kalian semacam setan, genderuwo, peri, atau mungkin rangkaian kedalaman bait-bait intuisi?!”
Di depan kamar
mandi, aku menggerutu, mengetuk pintu sebanyak dua kali, “Hei! Siapa yang
berani mempermainkanku malam-malam begini?!”
“Brakkk!” Dengan
emosi kutendang pintu itu. Kamar mandi menganga. Pintu terbuka. Samar-samar,
dari rambatan cahaya purnama yang menyelinap masuk dari celah jendela kamar,
aku melihat bayangan hitam teronggok di pojok ruangan. Wajahnya kusam. Bola
matanya hitam. Sekujur tubuhnya serba hitam. Kemudian bayangan itu
perlahan-lahan berjalan mendekatiku dengan wajah yang menyeramkan. Semakin
menyeramkan. Dan….
Subhanallah.
Ternyata Ibu yang keluar dari kamar mandi. Wajahnya sungguh teduh. Kulitnya
bersih. Gaunnya sunyi. Kemudian kuikuti langkah Ibu sampai memasuki kamarnya.
Aku memberanikan diri
duduk di
sebelahnya. Kurebahkan kepalaku di pangkuannya. Kugenggam jari tangannya.
“Kenapa buyung, rona matamu kelihatan menerawang gamang, seluruh aliran darahmu nampak tegang.”
“Ah, tidak ada apa-apa kok. Apakah yang berada di kamar mandi menepuk bahuku tadi Ibu?”
“Kenapa buyung, rona matamu kelihatan menerawang gamang, seluruh aliran darahmu nampak tegang.”
“Ah, tidak ada apa-apa kok. Apakah yang berada di kamar mandi menepuk bahuku tadi Ibu?”
“Bukan, Ibu hanya
pipis sebentar, habis itu berwudlu.”
“Tapi, Bu?!”
“Sudahlah, Buyung. Di dunia maha luas tanpa batas yang jelas ini semuanya bisa terjadi. Apalagi cuma di sekitar ruangan kecil seperti kamar mandi. Banyak hal-hal sepele yang sering kurang kita pahami. Kamu salah sedikit saja melangkah, bisa jadi malah polah kepradah berlawanan arah. Kamar mandi itu bentuknya bukan hanya persegi. Tapi mempunyai seribu sisi.”
“Sudahlah, Buyung. Di dunia maha luas tanpa batas yang jelas ini semuanya bisa terjadi. Apalagi cuma di sekitar ruangan kecil seperti kamar mandi. Banyak hal-hal sepele yang sering kurang kita pahami. Kamu salah sedikit saja melangkah, bisa jadi malah polah kepradah berlawanan arah. Kamar mandi itu bentuknya bukan hanya persegi. Tapi mempunyai seribu sisi.”
Ibu diam. Sesekali
mengusap air wudlu dari balik wajahnya yang teduh. Serat kulitnya yang bersih.
Dari pantulan gaunnya yang sunyi. Kemudian Ibu beranjak melangkahkan kaki untuk
solat tahajud.
Dalam benak panjangku, malam itu, aku masih ragu ketika dihadapkan pada perselingkuhan batas waktu. Waktu yang terus memburu. Waktu yang selalu bersekutu. Antara Ibu, bayangan yang menepuk bahuku, bayangan hitam, aku, siapakah yang lebih dulu memasuki jasad alegori waktu?
Dalam benak panjangku, malam itu, aku masih ragu ketika dihadapkan pada perselingkuhan batas waktu. Waktu yang terus memburu. Waktu yang selalu bersekutu. Antara Ibu, bayangan yang menepuk bahuku, bayangan hitam, aku, siapakah yang lebih dulu memasuki jasad alegori waktu?
Ah, kulihat dari
celah jendela kamar, kemerlip cahaya bintang sudah nampak redup dan hampir
padam. Purnama mulai beriring-iringan beranjak pergi untuk pamitan. Aku tidak
bisa berbuat apa-apa. Aku tidak kuasa menterjemahkan apa yang terjadi. Kecuali,
sebelum sinar matahari terlanjur enggan menyapa selamat pagi, di atas selembar
kertas kwarto, aku hanya bisa menulis selembar kaligrafi, “Berdoa Dulu Sebelum
Masuk Kamar Mandi.”
Sejak kejadian
itu, antara percaya dan tidak, sungguh! Sekarang aku menjadi was-was jika mau
masuk ke kamar mandi. Bayangan hitam itu seolah-olah sudah stand- by di sekitar
kamar mandi dengan cengkraman tangannya yang kuat. Dengan wajahnya yang
mengerikan.
Kadang, aku juga
sering terperanjat, dan langsung menghentikan langkah. Begitu mau masuk kamar
mandi, ketika sudah berada persis di depan pintu, tiba-tiba selalu ada saja
bayangan berkelabatan menepuk bahuku
“Tunggu!”
Apakah semacam
setan, genderuwo, peri, atau mungkin rangkaian kedalaman bait-bait intuisi?
Tidak? Tidak! Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada setapakpun kujumpai jejak manusia kecuali hanya aku termangu di depan pintu sembari memilang-miling selembar kaligrafi itu. “Tulisanmu bagus juga buyung,” kata keluargaku, saudaraku, dan kata siapa saja yang melihat selembar tulisan kaligrafi itu.
Tidak? Tidak! Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada setapakpun kujumpai jejak manusia kecuali hanya aku termangu di depan pintu sembari memilang-miling selembar kaligrafi itu. “Tulisanmu bagus juga buyung,” kata keluargaku, saudaraku, dan kata siapa saja yang melihat selembar tulisan kaligrafi itu.
Aku melempar
senyum. Sementara itu dari hari ke hari tamu yang berkunjung ke rumahku datang
dan pergi silih berganti. Setiap ada tamu, dan mereka hendak numpang ke
belakang untuk istinjak, membasuh muka, mengganti pepes anaknya atau mau apa
saja, aku selalu mengikuti mereka dari belakang. Aku selalu mengendap-endap
dari tembok samping kamar mandi mengamati gerak-gerik mereka dengan teliti. Ada
di antara mereka ketika mau masuk kamar mandi membaca selembar kaligrafi itu
dulu, kemudian mulutnya mendesah komat-kamit, seperti berdoa. Ada juga yang
masuk dengan santai tanpa melihat selembar kaligrafi itu. Banyak juga di antara
mereka yang melihat selembar kaligrafi itu malah tertawa, nyengir, kemudian
sesekali tangannya yang basah ditempelkan pas di tengah selembar kaligrafi itu
hingga membentuk seperti bubuhan cap lima jari.
Semula tidak
terjadi apa-apa. Aman. Tapi selang lima hari, dua minggu, sebulan, ahirnya,
perasaan paling mendebarkan muncul juga tatkala para tamu dari lingkungan desa
sudah memenuhi rumahku untuk acara pertemuan arisan. Mbah Abas, selaku sesepuh
desa kami memulai acara dengan pembacaan doa. Ruangan tamu cukup sesak. Berbaur
dengan semilir angin dari rerimbunan pohon di depan rumah. Membuat suasana agak
sedikit gaduh.
“Tapi, kamar mandi
itu, lagi-lagi pikirku cemas. “Wah, jangan-jangan…”
Untuk ke sekian
kalinya aku tergeragap. Belum sempat sejengkal kakipun aku melangkah. Belum
sempat para tamu mendongakkan kepala, tiba-tiba dari arah belakang terdengar
suara orang menjerit kesakitan, “Wataauuuuuuuu...!!!”
“Itu suara ragil,
anakkuuu…!!!” teriak Ibunya cemas.
Spontan semua yang
berada di dalam rumah langsung berhamburan ke belakang. Acara buyar. Orang
orang panik. Takut kalu terjadi apa-apa pada diri ragil.
“Dobrak saja
pintunya,” teriak Om Brahman.
“Jangan, kita
harus lapor ke polisi,” ujar Bulek Parmi.
“Ya, tetangga desa
sebelah ada pak polisi cakep membawa pistol. Kita lapor saja, nanti biar di
dorrrr
orang yang
mengganggu Mas Ragil,” sambung Budhe Lasmi.
“Ini bukan masalah
kriminal lho, Mbak Yu,” tegas Bapak, “Sebaiknya kita dobrak saja pintunya.
Bagaimanapun juga, kalau terjadi apa-apa nanti kita yang disalahkan.”
“Ya, dobrak saja pintunya!”
“Ya, dobrak saja pintunya!”
Alhasil, kami
semua sepakat mendobrak pintu. Hanya dengan empat gebrakan, dengan bantuan
beberapa orang yang berbadan cukup besar, pintu kamar mandi langsung roboh.
Kulihat darah segar berceceran di kamar mandi. Ragil terkapar. Lemas. Tak
sadarkan diri. Mulutnya menganga. Kancing celananya sedikit terbuka.
“Masya Allah,”
teriak kami, ketika dengan kasat mata melihat Upik juga tergeletak lemas tak
sadarakan diri, dengan posisi tengkurap di samping Ragil.
Om Brahman, Bapak,
dibantu dengan beberapa orang segera membopong mereka ke ruang tamu. Mereka
berdua mengalami pendarahan yang luar biasa, terutama Upik. Menurut desas-sesus
yang tersiar dari warga setempat, Upik telah mengandung dua bulan. Keluarganya
membiarkan begitu saja anaknya bebas berkeliaran dan kumpul kebo dengan siapa
saja.
“Bagaimana denyut nadinya?” tanya Mbah Abas seraya meredamkan suasana.
“Bagaimana denyut nadinya?” tanya Mbah Abas seraya meredamkan suasana.
Om Brahman, yang
tergolong masih family dengan Upik memegang lengan mereka bergantian. Dan untuk
terahir kalinya, wajahnya terlihat muram. Ia menghela nafas panjang.
Menundukkan kepala. “Upik sudah tiada,” jawabnya dengan suara datar.
Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un.
Aku tidak habis
pikir, di dunia maha luas tanpa batas yang jelas ini semuanya bisa terjadi.
Apalagi cuma di sekitar ruangan kecil seperti kamar mandi. Banyak hal-hal
sepele yang sering kurang kita pahami. Memang benar nasehat Ibu, kamar mandi
itu bentuknya bukan hanya persegi, tapi mempunyai seribu sisi.
Sejak musibah
menimpa Ragil dan Upik, sampai sekarang, atau bahkan selamanya, aku masih ragu
ketika dihadapkan pada perselingkuhan batas waktu. Waktu yang terus memburu.
Waktu yang selalu bersekutu. Antara Ibu, bayangan yang menepuk bahuku, bayangan
hitam, aku, siapakah yang lebih dulu memasuki jasad alegori waktu?
Yang jelas, sampai
saat ini, ketika mau masuk kamar mandi, ketika sudah berada persis di depan
pintu, tiba-tiba selalu ada saja bayangan berkelebatan datang menepuk bahuku
“Tunggu!”
“Tunggu!”
NASI BUNGKUS PRESIDEN
Sore itu ku
berjalan susuri barisan gerbong kereta tua yang sudah pensiun. Ketika aku
berada di samping salah satu gerbong kereta tua dengan jendela yang sudah
retak, tiba-tiba terdengar sebuah suara menyayat hati.
“Bu... lapar....”
Kupertajam indera dengarku.
Kupertajam indera dengarku.
“Bu, pengen
makan....”
“Iya nak, ibu tahu
kau lapar. Tapi, ibu tak punya apa-apa. Tunggu bapak ya....”
“Bu... aku lapar.”
“Iya nak, ibu
tahu. Tunggu bapakmu.”
Aku tak berdaya
mendengarnya. Kuingin membantu, tapi... nasibku serupa. Sudah sejak pagi tadi
perutku hampa. Hanya air mineral yang bisa kuteguk. Itupun hanya setengah botol
yang tersisa. Beruntung kutemukan botol air itu di kursi gerbong paling ujung.
Tak biasanya aku kehabisan barang penumpang yang tertinggal.
“Bu, lapar....”
“Iyaaaa... nak...
tunggu bapakmu.”
Tiba-tiba kulihat
di kejauhan tampak seorang tua berjalan agak gontai. Dia menghampiri sumber
suara yang kudengar tadi.
“Nak, Tuhan
mendengarmu. Bapakmu sudah datang. Semoga ia membawa makanan.”
“Bu, bapak pulang.”
“Bapak... Ara
lapar, mau makan.”
“Iya, nak, bapak
juga dengar suaramu. Beruntung kita hari ini karena presiden kita mau menaikkan
harga BBM. Semoga terus setiap hari berita itu muncul.”
“Pak, Ara lapar.
Ara gak ngerti BBM. Ara mau makan.”
“Iya, nak. Bapak
tahu. Bapak bawa makanan. Tapi, kamu harus bilang makasih.”
“Iya pak,
makasih.”
“Bukan ke bapak
nak, tapi ke presiden kita.”
“Emang makanan ini
dari presiden ya pak?”
“Iya nak, karena
presiden mau menaikkan BBM, hari ini bapak dapat makanan.”
“Pak presiden yang
ngasih nasi bungkus ini pak? Bapak tadi ketemu presiden ya? Bapak hebat. Ara
mau ketemu presiden pak. Ara mau bilang makasih ke presiden. Bapak antarkan Ara
Ya....”
“Sudah, kamu makan
dulu sana.... Habiskan ya nak.”
Sesaat ku terdiam.
Kurenungkan dialog bpk dan anak itu. Presiden mmberi nasi bungkus? Kpd bapak
tua yang tinggal di gerbong? Telingaku terganggukah? Bermimpikah aku? Atau
memang benar sang presiden sebaik itu??
Alangkah baiknya
sang presiden. Sungguh seorang pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Aku
terharu.
Namun tiba-tiba secuil otakku berontak. Tidak, presiden tidak sebaik itu. Kudengar tadi ada isu BBM akan dinaikkan. BBM naik. Bukankah hal itu berat untuk rakyat?? Termasuk aku dan bapak itu sekeluarga akan terkena dampaknya.
Namun tiba-tiba secuil otakku berontak. Tidak, presiden tidak sebaik itu. Kudengar tadi ada isu BBM akan dinaikkan. BBM naik. Bukankah hal itu berat untuk rakyat?? Termasuk aku dan bapak itu sekeluarga akan terkena dampaknya.
BBM naik. Presiden
memberi nasi bungkus. Apa hubungannya???
Otakku yang kerdil
ini tak sanggup temukan jawabannya. Aku linglung. Di tengah kelinglunganku aku
limbung. Aku tertidur dgn perut yang hanya terisi air mineral setengah botol,
yang tadi tertinggal.
Keesokan paginya ku terbangun. Seperti biasanya kususuri gerbong demi gerbong brharap ada makanan/barang penumpang tertinggal. Hari ini aku lebih beruntung. Kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek ukuran sedang dn seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku. Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih sayang padaku.
Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut, ku berjalan susuri barisan gerbong-gerbong tua yang sudah pensiun. Aku di salah satu gerbong, sedang bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.
Keesokan paginya ku terbangun. Seperti biasanya kususuri gerbong demi gerbong brharap ada makanan/barang penumpang tertinggal. Hari ini aku lebih beruntung. Kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek ukuran sedang dn seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku. Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih sayang padaku.
Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut, ku berjalan susuri barisan gerbong-gerbong tua yang sudah pensiun. Aku di salah satu gerbong, sedang bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.
Masih penasaran
dengan kisah mereka kemarin. Aku pun lalu kembali mendekati mereka. Kucoba
menguping untuk mendapatkan jawaban. Benarkah sang presiden memberikan nasi
bungkus kepada bapak tua itu? Lalu apa hubungannya dengan BBM akan naik??
Dengan sabar
kutunggu si bapak tua itu pulang. Lalu seperti hari-hari sebelumnya. Kudengar
dialog dengan urutan yg sdh kuhapal.
“Bu, lapar... mau
makan.”
“Iya nak, tunggu
bapak pulang.”
Seperti sebelumnya
pula, beberapa lama kemudian sang bapak tua pulang. Tentu saja membawa makanan
untuk anaknya.
“Pak, lapar....”
“Iya nak, nih
bapak bawa nasi bungkus lagi buat kamu. Ini dari presiden juga, nak.”
“Bapak ketemu pak
presiden lagi?”
Sang bapak tua tak
menjawab. Ia malah menjawab seperti tadi.
“Nasi ini dari presiden kita, nak.”
“Nasi ini dari presiden kita, nak.”
Lalu meminta
anaknya makan.
“Sudah, makan dulu
sana. Habiskan nasi dari pak presiden.”
Beberapa saat
kemudian, sang ibu menarik bapak tua itu menjauh dari anaknya. Kemudian ia
berbisik. Sayup kudengar dialog mereka, sementara si anak asik dengan
makanannya.
“Bapak benar
bertemu pak presiden? Benar bapak diberi nasi bungkus oleh presiden? Benar
bapak.... Benar bapak....”
Rentetan
pertanyaan berbisik itu meluncur deras dari mulut sang ibu. Seolah menumpahkan
segudang rasa penasaran.
Hahahaha, ternyata
rasa penasaranku tak kalah dengan sang ibu. Dalam hati kumerasa sebentar lagi
penasaran itu 'kan terjawab.
Dengan tenang sang
bapak memegang kedua pundak sang ibu.
“Bu, kita ini
siapa? Presiden kita siapa? Kita tinggal di gerbong tua, beliau di istana. Dia
tak mengenal kita bu, dia tak kenal bapak. Lagipula ibu percaya bahwa presiden
memberi nasi bungkus kepada rakyat hina seperti kita??”
“Tapi pak....
Beberapa hari ini bapak bilang dapat nasi bungkus dari presiden.”
“Bu..., bapak
sendiri takkan percaya seandainya hal itu benar.”
“Lalu pak.... Dari
mana nasi bungkus itu?”
Rasa penasaranku
semakin menjadi. Otakku mendidih, badanku bergetar menanti jawaban untuk
pertanyaan-pertanyaan itu.
“Bu, bapak
beberapa hari ini mendekati lokasi demonstrasi. Mereka katanya menolak kenaikan
BBM. Bapak tidak tahu masalah BBM. Bapak juga tak peduli. Siang-malam kita
tidak berhubungan dengan BBM. Yang bapak tahu, menurut teman-teman pemulung
lainnya, di sana ada demonstrasi. Mereka menolak BBM naik.
Kata mereka,
setiap siang sekitar jam 12-an pendemo itu istirahat. Mereka makan siang.
Mereka bilang setiap siang itu ada beberapa orang yang datang membawa makanan,
nasi bungkus. Nasi bungkus itu dibagikan kepada para pendemo. Tukang becak,
pengemis, dan pemulung yang ada di sana dikasih juga, bu.
Beberapa hari ini
bapak mendekati demonstrasi dan ketika pembagian nasi, bapak juga dapat bagian.
Bapak tidak tahu siapa yang mengirim nasi bungkus itu. Bapak cuma tahu pak
presiden ingin menaikkan harga BBM. Bagi bapak, nasi bungkus ini karena niat
presiden, nasi ini dari presiden.
Seketika aku
tergagap. Aku terdiam berjuta bahasa. Presiden memang baik hati. Presiden
memang memberi nasi bungkus kepada bapak tua itu.
Langganan:
Postingan (Atom)